Jumat, 09 November 2007

Memintal Bulu Domba Menenun Rupiah

KOMPAS - Rabu, 26 Jun 1991 Halaman: 13 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 9721 Foto: 1
MEMINTAL BULU DOMBA, MENENUN RUPIAH
DOMBA dijajakan di pusat pertokoan Sogo, pasti sesuatu hal
yang tidak mungkin. Tentu Anda akan berpikir, bagaimana mungkin
ternak yang biasanya ditempatkan di kandang-kandang berbau kurang
sedap itu, ditawarkan pada pertokoan bergengsi. Dan kenyataannya
kini domba bisa dijajakan di tempat itu. Memang bukan domba hidup,
tetapi bulu-bulu domba yang telah dibentuk menjadi hiasan dinding,
karpet, atau sajadah yang memang layak disajikan.
Produk kerajinan bulu domba, kini memang sudah menembus
beberapa pusat pertokoan di Jakarta. Demikian juga kota-kota lainnya
seperti Bandung. Padahal sebelumnya, seperti tidak terpikirkan,
bagaimana mungkin bulu-bulu "keriting" hewan itu dapat dijadikan
lembaran-lembaran hiasan dinding, sajadah atau karpet. Macam apa pula
bentuk yang dihasilkan.
Ternyata hal yang tidak mungkin itu, menjadi mungkin berkat
keuletan seorang wanita, Ny. Sukaryatinih (33), penduduk Desa
Balongan, Perwakilan Kecamatan Balongan, Kabupaten Indramayu (Jawa
Barat). Berkat keuletannya, kini bulu-bulu domba dapat diolah
sebagai kerajinan yang cukup artistik. Satu-satunya kerajinan bulu
domba yang ada di Jabar.
Bulu-bulu keriting ternak itu, diolah dengan dipintal menjadi
untaian tali memanjang. Selanjutnya, sentuhan jiwa seni pun
berperan. Untaian tali ditenun, dengan desain-desain yang
diinginkan. Bisa dalam bentuk hiasan dinding, sajadah atau karpet.
Maka motif barong atau prototipe berbagai binatang pun muncul dalam
tenunan bulu domba, dengan warna-warna memikat.
Hasil karya anak manusia, yang bagi awam tentu tidak akan
menduga, berasal dari bulu-bulu ternak piaraan itu. Karya manis dan
memikat dari bulu-bulu yang sebelumnya berbau kurang sedap.
* * *
BERTEMPAT di salah satu ruangan gedung di dalam komleks LIK
(Lingkungan Industri Kecil) Kabupaten Indramayu, Ny. Sukaryatinih
memimpin 14 anak buahnya. Enam alat tenun dan delapan alat pintal
melengkapi kegiatan mereka. Meski terasa sumpek dalam ruangan
berukuran sekitar 4 X 7 meter, mereka bahu membahu memintal dan
menenun bulu domba.
Mereka sadar, dengan itu harapan hidup mereka digantungkan.
Rupiah demi rupiah diharapkan, dari pintalan dan tenunan bulu-bulu
keriting tersebut setiap hari kerja mereka.
Bulu domba yang diolah ini, didatangkan enam bulan sekali dari
Tapos, Bogor. Setiap kiriman, sebanyak dua ton. 'Saya sendiri yang
langsung membeli ke Tapos,' ujar Sukaryatinih meyakinkan. Jumlah
sebanyak itu, cukup untuk kebutuhan selama setengah tahun. Jika bulu
domba habis, ibu satu anak itu pun kembali lagi membeli ke Tapos.
Bulu domba ini tidak seluruhnya dapat dibuat menjadi untaian
pintalan, karena sebagian terbuang percuma. Sehingga bulu yang tidak
terpakai bisa mencapai sekitar dari lima persen.
Dalam sehari hasil pintalan benang yang dihasilkan, mencapai
seberat 1,5 kilogram. Jika dinilai dengan uang hasil pintalan ini
berkisar seharga Rp 15.000. Pintalan bulu, lantas diberi pewrna yang
khusus dibelinya di Jakarta. Setelah dikeringkan, maka pintalan
bulu-bulu domba berwarna-warni tersebut siap ditenun.
Tangan-tangan ahli denan sentuhan jiwa seni pun, lantas
berperan. Dengan keuletan dan kerja keras serta kreasi tinggi, hiasan
dinding dapat diselesaikan dalam tiga sampai lima hari. Sajadah lebih
singkat lagi, 1 - 2 hari. Maka kreasi motif segala macam hewan dan
motif lainnya, tercipta untuk bermacam hiasan dinding dan karpet.
Sedangkan sajadah kebanyakan satu motif, dan hanya dibedakan
perpaduan warna-warna berbeda.
Produk hiasan dinding dalam satu bulan mencapai 40 sampai 50
lembar, dan sajadah bisa dua kali lebih banyak. Ny. Sukaryatinih
memasang harga hiasan dinding berukuran 70 X 130 cm, antara Rp
40.000 - Rp 50.000. Sajadah yang semuanya berukuran 60 X 100
cm, rata-rata dijual Rp 25.000. Sedangkan karpet berukuran sekitar
200 X 1,5 cm lebih mahal lagi yakni sekitar Rp 150.000.
Menurut dia, lebih mahalnya harga hiasan dinding disebabkan
waktu pembuatannya lebih lama. Ini diakibatkan, dalam hiasan dinding
bentuk-bentuk desainnya lebih rumit, dengan perpaduan pintalan
warna-warni lebih banyak.
* * *
AWALNYA Ny. Sukaryatinih memulai usaha kerajinan spesifik dan
masih langka ini, pada 1985. Itu dilakukan setelah wanita jebolan
kelas dua SMEAN Indramayu pada 1975, menganggur tiga bulan di rumah.
Mencoba memanfaatkan waktu luang, dia mencoba memulai usaha
kerajinan yang pernah digelutinya tersebut.
Jika ditarik ke belakang, usaha pemanfaatan bulu domba sebagai
salah satu betuk kerajinan, berawal ketika pada 1982 pemerintah
Kerajaan Belanda memberikan bantuan alat-alat tenun dan alat-alat
pintal, kepada LIK Indrmayu. Bantuan yang memang dikhususkan untuk
memanfaatkan bulu domba, menjadi salah satu bentuk kerajinan. Negara
donatur memberikan pula bantuan, untuk dana pendidikan kerajinan
tenunan bulu domba.
Sebanyak 20 orang putra-putri asal Indramayu, lantas dididik
selama dua bulan, khusus untuk mempelajari masalah desain dan karya
tenunan di Jurusan Seni Rupa ITB. Di antara mereka yang mendapat
kesempatan itu adalah Sukaryatinih. "Saya tahu ada pendidikan itu,
dari paman yang bekerja di Dinas Peternakan Indramayu," ujarnya.
Peserta lain ketika itu pun menurut pengakuannya, memang berasal
dari orang-orang dekat yang tahu adanya proyek bantuan tersebut.
Selesai pendidikan, mereka memulai usaha keterampilan bertempat
di salah satu ruangan gedung dalam kompleks LIK. Usaha kerajinan ini
akhirnya dilimpahkan ke Pemda Indramayu. Produk-produk mereka
dipasarkan sampai ke Jakarta dan Bandung. Namun tetap tidak menentu
dan belum mempunyai pelanggan tetap. Sampai akhirnya pada Agustus
1985, usaha keterampilan tersebut gulung tikar. Sukaryatinih dan
rekan lain, terpaksa menganggur di rumah masing-masing.
Merasa sayang terhadap kemampuan diri, dan alat-alat tenun serta
pintal yang teronggok percuma, tiga bulan kemudian Sukaryatinih
mencoba bangkit. Kemudahan dan instansi terkait, dia dapatkan untuk
memanfaatkan peralatan, dan mencoba menghidupkan kembali usaha
keterampilan ini. Dari koceknya, dia mengeluarkan Rp 600.000 sebagai
modal awal. Beberapa teman kembali dihubungi. Ternyata mendapat
tanggapan. Langganan lama juga dihubungi, untuk menawarkan produksi
kerajinan. Meski tersendat, usaha itu berjalan cukup lancar dan
tetap hidup.
Produk kerajinan ini akhirnya menarik perhatian salah seorang
distributor di Jakarta sejak awal 1990 lalu. Ny. Sukaryatinih, tidak
perlu lagi susah payah mencari peminat hasil karya kerajinan bulu
domba ini. Dia tidak perlu pula repot menaih bayaran, yang memang
kadang tersendat.
Melalui distributornya sekarang, produknya kini lancar
dipasarkan, karena semuanya ditampung distributor. Pembayaran juga
lancar, karena langsung dibayar setelah produk dikirimkan.
* * *
NAMUN rupanya kelancaran pemasaran itu, akhirnya membuat
permasalahan baru pula. Langganan-langganan lama menjadi tidak
terlayani. "Bagaimana peminat lain akan terlayani, wong semua produk
sudah ditampung distributor," ujarnya. Informasi yang diterimanya,
hasil kerajinan bulu domba tersebut, sudah dijajakan pula di Sogo dan
Sarinah Jaya.
Memang ada hasrat untuk pengembangan usaha. Namun Ny.
Sukaryatinih menghadapi kendala tenaga pengrajinnya, yang kini
berjumlah 14 orang dan dibayar antara Rp 1.500 *.002 Rp 2.500. Itupun
tenag terampil penenun hanya enam orang, karena selebihnya pemimtal.
Untuk mengembangkan usahanya, tentu dibutuhkan modal tidak
sedikit untuk mendididk calon-calon pengrajin baru. Dia beralasan,
keterampilan ini harus didasari pengetahuan cukup dalam bidung tenun
menenun, disertai pemupukan jiwa seni melalui pendidikan tentang
desain yang benar. Ada memang keinginan merekrut kembali teman-
temannya dulu, yang pernah ikut pendidikan. Namun itu dirasakan
tidak mungkin, karena hampir semuanya tidak disibukkan kehidupan
rumah tangga mereka.
Belum lagi penambahan alat-alat yang tentunya membutuhkan modal
tidak sedikit pula. Demikian juga ruangan tempat bekerja, tentu
harus lebih besar di suatu tempat yang baru.
Semua keinginan untuk maju itu, memang akhirnya hanya dapat
dipendamnya. Keinginannya terbentur modal. Pertengahan Juni 1991
ini, Ny. Sukaryatinih mencoba menambah pekerjanya. Meski bukan
penenun, diharapkan pekerja baru akan mampu memintal, dan pada
akhirnya diharapkan mungkin dapat menenun.
Penambahan pekerja baru, tidak terlepas dari perkembangan usaha
kerajinan bulu domba yang telah semakin memikat banyak pihak. Saat
ini dihadapannya telah muncul pesanan sebanyak 400 lembar sajadah
dengan harga Rp 25.000 per lembar, dari panitia Festival Istiqlal
pada Oktober 1991 mendatang.
Ny. Sukaryatinih tentu sebelumnya tidak menduga, satu-satunya
usaha kerajinan bulu domba di Jawa Barat ini mengundang banyak
peminat. Seperti dia tidak menduga pula, akhirnya dia mengikuti
berbagai pameran di Jakarta dan kota besar lain, sebagai salah satu
hasil kerajinan kebanggaan propinsinya dan daerah kelahirannya
Indramayu. Bahkan masuk pula dijajakan di Sogo dan Sarinah Jaya.
Hatinya tentu berbunga, meski dia tidak peduli berapa kali lipat
harga yang ditawarkan distributornya, di pertokoan bergengsi itu.
(agus mulyadi)
Foto: 1
Istimewa
PAMERAN - Ny. Sukaryatinih (berpakaian warna biru/gelap) memajang
produksi kerajinan bulu domba, dalam salah satu pameran di Jakarta.

1 komentar:

kolam buana indah mengatakan...

wah bagus tuch. saya suka bingung dan sayang kalo pas cukur domba bulu nya di buang begitu saja. tidak tahu harus di bagaimanakan.
menarik sekali tulisan ini, semoga menjadi inspirasi buat kita semua.